DALAM masyarakat Jawa, keris memiliki fungsi sosial
sebagai penanda golongan, atau sekurang kurangnya sebagai wakil dari
pemiliknya. Sedemikian pentingnya keris sebagai representasi jati diri
menjadikan keris dapat dihadirkan untuk mewakili sosok manusia yang
tidak dapat hadir untuk berperan dalam peristiwa penting tertentu. Hal
yang sering dipraktikkan adalah menghadirkan keris sebagai wakil
pemiliknya dalam pernikahan.
Menurut staf pengajar FSRD
Universitas Trisakti, Drs Khrisna Hutama MHum, struktur politik Jawa
yang terpusat di keraton membuat raja yang bertahta di kerajaan Jawa
menjadi institusi utama pendukung budaya keris Jawa tradisional.
Ditemukannya
data-data tentang keris di dalam kepustakaan keraton, menjadi bukti
peran penting kerajaan sebagai institusi utama pendukung budaya keris.
"Disamping itu, catatan sejarah kerajaan Jawa kerap memunculkan budaya
keris dalam kisahnya," paparnya di Sekolah Pascasarjana UGM, saat
melakukan ujian terbuka program doktor UGM.
Dikatakan, sebagai
produk budaya, keris tersusun atas unsur ideofak, sosiofak dan teknofak.
Ide awal fungsi keris adalah untuk senjata tusuk yang pada mulanya
dipergunakan dalam pertarungan jarak dekat. Sementara seiring
perkembangan jaman, bilah keris juga mendapat tambahan makna
berturut-turut yang memperkaya gagasan pembuatan keris dalam kebudayaan
Jawa.
Pamor keris, ujarnya, diyakini sebagai simbol penyatuan
mistik antara dua kondisi alam yang saling berlawanan, yaitu laki-laki
dan perempuan, siang dan malam, panas dan dingin, atas dan bawah, serta
mahluk dan Tuhannya. "Itu wujud nyata dari konsep lingga dan yoni, yang
mewakili dua kutub berbeda atau 'rwa bhineda', yang merupakan simbol
persatuan antara Hyang Syiwa dan istrinya, Dewi Parwati seperti terdapat
dalam kepercayaan Hindu," jelas staf ahli PT Narendra DC tahun
1980-1990 itu.
Dalam desertasi 'Keris Jawa Tradisional di Daerah
Yogyakarta dan Surakarta, Kontinuitas dan Perubahannya', Dia lebih
lanjut menjelaskan pembuatan keris Jawa tradisional merupakan teknologi
yang menghubungkan dimensi ide dan sosial yang terkandung dalam
kebuayaan Jawa, dan ketiganya bersatu mewujudkan keris sebagai karya
seni yang kompleks.
Kesinambungan riwayat teknik pembuatan keris
ini bergantung kepada para empu keraton. Di keraton Yogyakarta dan
Surakarta sebagai pewaris terakhir kerajaan Jawa, teknik pembuatan keris
Jawa tradisional itu melalui empat tahap pekerjaan, yaitu persiapan,
penempaan dasar, penempaan rekayasa dan pekerjaan terakhir.
Selain
sebagai benda budaya yang dikembangkan, keris dapat dilihat pula dari
sudut pandang kesenirupaannya. Kesenirupaan keris tidak dapat dipisahkan
dari keindahan yang dapat ditangkap dari bentuk wujud keris.
"Ada
suatu konsep penilaian bahwa keindahan klasik yang biasa dijadikan
pedoman dalam budaya keris Yogyakarta, sekaligus menjadi dasar penilaian
keris secara umum termasuk untuk menilai keris-keris dari tangguh
selain tangguh Yogyakarta," tandas Khrisna yang dinyatakan lulus dengan
predikat sangat memuaskan, dan menjadi doktor ke-1310 yang diluluskan
UGM.
(Bambang Unjianto/CN27)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar