Dukun Sahabat Setan
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abulfaruq Ayip Syafrudin)
Perdukunan ada di mana-mana. Dalam tumbuh kembangnya, dunia
perdukunan (termasuk paranormal) hadir tak semata di tingkat akar rumput
yang rata-rata berpendidikan rendah. Pun tak semata di area yang dihuni
rakyat jelata yang miskin, papa dan hidup terbelakang. Dunia perdukunan
menyentuh juga manusia yang hidup dalam kawasan elite, prestisius
bahkan borjuis. Perdukunan merambah kemana pun. Menyeruak, masuk ke alam
kehidupan semua strata dan latar belakang manusia, kecuali orang-orang
yang dirahmati-Nya.
Hasil penelitian ilmiah pada masyarakat Bugis-Makasar, diperoleh
beragam keahlian sanro (sebuah istilah paling populer untuk dukun).
Kelompok sanro pappamole, sanro pabballe, atau sanro tomalasa, yaitu
dukun yang ahli mengobati orang sakit atau yang berusaha menyembuhkan
penyakit. Sanro puru, dukun yang biasa mengobati orang yang berpenyakit
puru atau sarampa (cacar). Sanro pattiro-tiro atau sanro paccini-cini
atau sanro patontong, yaitu dukun peramal.
Misal, menentukan letak
barang yang hilang atau dicuri, menyebutkan pelaku atau ciri-ciri
pencurinya, dan sebagainya. Dukun ini suka meramal nasib atau masa depan
orang, melihat sifat dan tabiat seseorang meski sang dukun hanya tahu
nama orangnya, meramal hari atau waktu yang baik seumpama hendak
bepergian atau melakukan hajat tertentu. Sanro sehere (dukun sihir) yang
memelihara jin yang bisa disuruh membawa guna-guna dan memasukkannya ke
tubuh seseorang.
Di Aceh, terkait masalah kekuatan ghaib ini disebut eleumee. Cara
untuk memperoleh eleumee disebut dengan amalan eleumee. Beberapa macam
eleumee yang tersebar di sebagian masyarakat Aceh seperti eleumee
keubay, yaitu ilmu kebal yang menjadikan kebal terhadap tusukan senjata
tajam. Termasuk dalam ilmu kebal ini antara lain eleumee ma’rifat beusoe
(ilmu ma’rifat besi), eleumee rante but (ilmu rantai perbuatan). Ada
juga eleumee tuba yaitu ilmu untuk membuat racun dan penawarnya.
Jenisnya banyak, seperti eleumee kulat yang terkenal berasal dari Lam
Teuba, untuk membuat racun dari jamur tertentu. Juga ada yang disebut
eleumee burong, ilmu bersahabat dengan makhluk halus. Eleumee pari, di
mana burong (burung) yang dipelihara digunakan untuk menjaga tuannya
dari serangan ghaib. Adapun eleumee sandrung yaitu ilmu untuk memanggil
makhluk halus dan memasukkannya ke dalam tubuh manusia. Ada pula yang
disebut eleumee akhirat atau lebih dikenal dengan kramat. Kekuatan
kramat bersifat umum, seperti mengobati yang sakit, mengusir setan,
melancarkan usaha mencari rezeki, dan pergi shalat Jumat ke Makkah.
Kisah tentang ureueng kramat (orang kramat) selalu berkisar di dayah
(pesantren) dan alim ulama, karena eleumee ini senantiasa disandingkan
dengan nilai-nilai agama. Namun, dalam batas tertentu hal itu menjadi
kabur. Karena, seseorang yang menginginkan kedudukan kramat nyatanya
menghendaki menjadi orang yang memiliki kesaktian, melakukan amalan yang
tidak bersumber pada nilai-nilai agama yang benar, bahkan justru
melakukan perbuatan bid’ah. Praktik yang sering dilakukan ureueng kramat
maupun yang memiliki eleumee, yaitu dengan memberi ajemmat. Ajemmat
adalah secarik kertas yang ditulisi atau digambari huruf Arab. Isinya
beragam, ada berupa tulisan kutipan ayat suci, ada pula hanya huruf yang
tidak dipahami maknanya. Secarik kertas tersebut lantas disimpan dalam
saku, ikat pinggang atau dibakar lantas abunya digosokkan pada badan
atau dimasukkan ke air di gelas lalu diminum airnya. Mirip ajemmat,
dikenal pula tangkay. Yaitu sebuah benda yang dianggap mempunyai
kekuatan yang bersifat melindungi pemiliknya. Benda-benda yang dipakai
sebagai tangkay seperti batu akik, daun-daunan, benang warna-warni, dan
lain-lain. (Dukun, Mantra dan Kepercayaan Masyarakat, T. Sianipar,
Al-Wisol, Munawir Yusuf, hal. 17-19 dan 147-149)
Dalam kehidupan masyarakat Jawa juga tumbuh pemahaman tentang
perdukunan. Dukun perewangan, yaitu dukun yang bertindak sebagai
mediator dalam masalah mistik. Dukun wiwit, yaitu yang melakukan upacara
panen. Dukun temanten, yang mengatur prosesi upacara pengantin agar
tidak terganggu. Dukun ramal. Dukun sihir. Dukun susuk, dukun yang
menangani peristiwa-peristiwa alam, seperti menahan hujan atau membantu
agar barang-barang yang ada tidak hilang dicuri. Masih banyak lagi ragam
dukun yang ada dalam kehidupan masyarakat Jawa.
Maka, dari beberapa bentuk aktivitas dukun di atas, ada beberapa
kategori yang menjadikan sebagian masyarakat meminta bantuan kepada
dukun. Di antaranya, masyarakat datang kepada seorang dukun lantaran
terkait masalah kesehatan, penyakit, masalah karir jabatan, masalah
ekonomi, bisnis atau sejenisnya, masalah jodoh, hubungan suami istri,
dan masalah keselamatan secara umum.
Dukun menurut Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan hafizhahullah, adalah
seseorang yang mengaku mengetahui hal-hal ghaib. Seperti, dirinya
mengaku mengetahui peristiwa-peristiwa yang akan terjadi di muka bumi
ini. Mengaku mengetahui pula tempat barang-barang yang raib. Ini semua
bisa dilakukan lantaran sang dukun meminta bantuan para setan yang
mencuri dengar (menyadap) berita dari langit. Allah l berfirman:
“Apakah akan Aku beritakan kepadamu, kepada siapa setan-setan itu
turun? Mereka turun kepada tiap-tiap pendusta lagi yang banyak dosa,
mereka menghadapkan pendengaran (kepada setan) itu, dan kebanyakan
mereka adalah orang-orang pendusta.” (Asy-Syu’ara: 221-223)
Setan mencuri pendengaran dari pernyataan-pernyataan malaikat, lantas
oleh setan perkataan tersebut disampaikan ke telinga dukun. Kemudian
sang dukun pun menambahi dengan seratus kedustaan bersama kalimat
tersebut. Maka manusia pun membenarkan apa yang dikatakan sang dukun
dengan sebab perkataan yang telah didengar setan dari langit. (‘Aqidatut
Tauhid, hal. 126)
Adapun menurut Asy-Syaikh Shalih bin Abdul ‘Aziz Alu Asy-Syaikh,
hakikat perbuatan dukun adalah dia meminta bantuan kepada jin untuk
(mengetahui) berita-berita yang terkait perkara-perkara ghaib pada masa
lalu atau masa yang akan datang. Yang tentu saja, perkara yang akan
datang ini tidak ada yang mengetahui kecuali hanya Allah Jalla wa ‘Ala.
(Syarhu Kitab At-Tauhid, hal. 250)
Nampak keterkaitan antara dukun dengan jin. Praktik dukun yang
menggunakan cara-cara magis tidak lepas dari bantuan jin. Rasulullah n
pernah ditanya perihal dukun. Aisyah x berkata:
سَأَلَ أُنَاسٌ النَّبِيَّ n عَنِ الْكُهَّانِ فَقَالَ: إِنَّهُمْ
لَيْسُوا بِشَيْءٍ. فَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ، فَإِنَّهُمْ
يُحَدِّثُونَ بِالشَّيْءِ يَكُونُ حَقًّا؟ فَقَالَ النَّبِيُّ n: تِلْكَ
الْكَلِمَةُ مِنَ الْحَقِّ يَخْطَفُهَا الْجِنِّيُّ فَيُقَرْقِرُهَا فِي
أُذُنِ وَلِيِّهِ كَقَرْقَرَةِ الدَّجَّاجَةِ فَيَخْلِطُونَ فِيْهِ
أَكْثَرَ مِنْ مِائَةِ كَذْبَةٍ
“Orang-orang bertanya kepada Nabi n perihal dukun. Maka beliau n
menjawab, ‘Sungguh mereka itu bukanlah suatu apapun.’ Lantas orang-orang
berkata, ‘Mereka (para dukun) itu mengatakan sesuatu bisa jadi benar.’
Maka Nabi n bersabda, ‘Kalimat (perkataan) itu dari yang benar, lantas
jin menyambarnya, lalu disampaikan kepada telinga walinya seperti suara
ayam berkotek. Tercampurlah di dalamnya dengan seratus lebih
kedustaan’.” (HR. Al-Bukhari no. 7561)
Sungguh para dukun mendapat tempat yang leluasa sebelum Islam ada.
Akan tetapi, setelah kedatangan Islam penjagaan langit makin diperketat.
Jadilah ruang gerak dukun semakin kecil. Allah l mengabarkan terkait
keberadaan setan:
“Dan sesungguhnya kami telah mencoba mengetahui (rahasia) langit,
maka kami mendapatinya penuh dengan penjagaan yang kuat dan panah-panah
api, dan sesungguhnya kami dahulu dapat menduduki beberapa tempat di
langit itu untuk mendengar-dengarkan (berita-beritanya). Tetapi sekarang
barangsiapa yang (mencoba) mendengar-dengarkan (seperti itu) tentu akan
menjumpai panah api yang mengintai (untuk membakarnya).” (Al-Jin: 8-9)
Allah l berfirman:
“Kecuali setan yang mencuri-curi (berita) yang dapat didengar (dari
malaikat) lalu dia dikejar oleh semburan api yang terang.” (Al-Hijr: 18)
Itulah hakikat dukun yang tidak bisa dilepaskan dari keterikatan
dengan jin (setan). Sebagaimana disebutkan Asy-Syaikh Shalih bin Abdul
‘Aziz Alu Asy-Syaikh hafizhahullah, bahwa masalah dukun masuk dalam
pembahasan Kitabut Tauhid, lantaran dukun meminta pelayanan (bantuan)
kepada jin. Sedangkan meminta bantuan pada jin merupakan kekufuran dan
termasuk syirik yang paling besar terhadap Allah Jalla wa ‘Ala. Sungguh,
meminta bantuan kepada jin dalam beberapa perkara tidaklah akan bisa
terjadi kecuali dengan cara taqarrub (mendekatkan diri) kepada jin
tersebut dengan sesuatu yang termasuk peribadatan. Bagi para dukun
adalah satu kemestian –agar jin membantu menyebutkan perkara-perkara
ghaib kepada mereka– melakukan upaya taqarrub kepada jin melalui prosesi
peribadatan. Prosesi peribadatan tersebut di antaranya dalam bentuk
penyembelihan (hewan), melakukan istighatsah, mengkufuri Allah Jalla wa
‘Ala dengan bentuk perilaku menghinakan mushaf (Al-Qur’an), mencela
Allah l, atau melalui perbuatan-perbuatan syirik dan kufur lainnya.
(Syarhu Kitabi At-Tauhid, hal. 250-251)
Karenanya tidak mengherankan bila dalam praktik perdukunan, sang
dukun minta disediakan ayam dengan warna tertentu, kambing dengan
ketentuan tertentu, kemenyan, telur, bunga dengan berbagai rupa, dan
lainnya. Semua permintaan tersebut kelak dijadikan sebagai sesaji atau
tumbal. Semua perbuatan tersebut merupakan bentuk perbuatan syirik
karena termasuk upaya mendekatkan diri (taqarrub) kepada setan sebagai
wujud rasa takut mereka. Penyembelihan hewan yang dilakukan merupakan
bentuk penyembelihan kepada selain Allah l. Bentuk kurban bagi jin.
Padahal Rasulullah n pernah bersabda sebagaimana dalam hadits Ali bin
Abi Thalib z:
لَعَنَ اللهُ مَنْ ذَبَحَ لِغَيْرِ اللهِ
“Allah telah melaknat orang yang menyembelih karena selain Allah.” (HR. Muslim no. 4978)
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdillah Al-Imam hafizhahullah memasukkan
dukun dalam kategori tukang sihir. Kata beliau, penyihir meliputi tukang
ramal, dukun, ‘arraf (orang yang mengaku bisa mengetahui keberadaan
barang yang hilang). Kebanyakan dari keempat golongan ini, yaitu
penyihir, tukang ramal, dukun, dan ‘arraf adalah orang-orang yang
menghambakan diri kepada jin dan para setan mereka. Allah l berfirman:
“Hanya setan-setan itulah yang kafir (mengerjakan sihir).” (Al-Baqarah: 102)
Firman-Nya:
“Apakah akan Aku beritakan kepadamu, kepada siapa setan-setan itu
turun? Mereka turun kepada tiap-tiap pendusta lagi yang banyak dosa,
mereka menghadapkan pendengaran (kepada setan) itu, dan kebanyakan
mereka adalah orang-orang pendusta.” (Asy-Syu’ara: 221-223)
Juga firman Allah l:
“Sesungguhnya setan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu.” (Al-An’am: 121)
Barangsiapa, dari keempat macam orang tersebut, yang (mengatakan)
tidak mendapat berita dari para setan dan jin, maka dia itu dajjal,
pendusta yang melakukan praktik sihir dengan cara menyampaikan perkataan
dusta, menipu demi meraup harta duniawi. (Irsyadun Nazhir ila Ma’rifati
‘Alamat As-Sahir, hal. 10)
Disebutkan pula bahwa ‘arraf adalah juga dukun. Dua nama namun
menunjukkan sesuatu yang satu. Dinyatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah t bahwa al-’arraf adalah nama bagi dukun, tukang nujum, dan
rammal (orang yang meramal dengan cara memukulkan kerikil dan menggaris
di pasir). (Syarhu Kitabit Tauhid, hal. 255-256)
Sebagai agama yang membawa rahmat, Islam melarang keras keberadaan
dukun dan praktik perdukunan. Islam melarang seseorang mendatangi dukun.
Sebagaimana hadits Mu’awiyah bin Al-Hakam As-Sulami z yang menyatakan,
“Wahai Rasulullah, sungguh seorang dari kami mendatangi dukun.” Kata
Rasulullah n:
فَلَا تَأْتِهِمْ
“Jangan engkau mendatangi mereka.” (HR. Muslim no.537)
Juga berdasar hadits dari Shafiyyah x, dari sebagian istri Nabi n, dari Nabi n, beliau bersabda:
مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَيْءٍ فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُولُ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلَاةٌ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً
“Barangsiapa yang mendatangi dukun, lantas dia bertanya tentang
sesuatu kemudian membenarkan apa yang diucapkan dukun tersebut, tidaklah
diterima shalatnya selama 40 malam.” (HR. Muslim no. 2231, tanpa lafadz
فَصَدَّقَ بِهِ. Tambahan lafadz tersebut tertera dalam hadits yang
diriwayatkan Al-Imam Ahmad dalam Musnad-nya, 4/28, 5/380)
Secara zhahir hadits, sekadar bertanya kepada dukun merupakan bakal
tidak diterimanya shalat selama 40 malam. Akan tetapi, yang demikian ini
tidaklah bersifat mutlak. Perlu ada rincian. Ini sebagaimana dinyatakan
As-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin t. Terkait bertanya kepada
dukun ini, beliau t merinci menjadi empat bagian:
1. Semata-mata bertanya, maka yang seperti ini haram hukumnya. Berdasarkan sabda Nabi n:
مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَيْءٍ فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُولُ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلَاةٌ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً
“Barangsiapa yang mendatangi dukun, lantas dia bertanya tentang
sesuatu kemudian membenarkan apa yang diucapkan dukun tersebut, tidaklah
diterima shalatnya selama 40 malam.”
Penetapan sanksi atas orang yang bertanya kepada dukun menunjukkan
atas keharamannya. Ini berarti bahwa tidaklah ada sanksi kecuali atas
perbuatan yang diharamkan.
2. Bertanya lalu membenarkan
apa yang dikatakan dukun tersebut. Yang seperti ini menjadikan pelakunya
kufur lantaran dia membenarkan dalam perkara yang ghaib dan mendustakan
Al-Qur’an, yaitu firman Allah l:
“Katakanlah: ‘Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah’.” (An-Naml: 65)
3. Pertanyaan yang diajukan
kepada dukun dalam rangka menguji dukun tersebut, apakah dia seorang
yang jujur atau pendusta. Tidak dalam rangka mengambil perkataannya.
Yang semisal ini tidak mengapa dan tidak masuk dalam kategori hadits di
atas. Nabi n pernah bertanya kepada Ibnu Shayyad:
مَا ذَا خَبَأْتُ لَكَ؟ قَاَلَ: الدُّخُّ. فَقَالَ: اخْسَأْ فَلَنْ تَعْدُوَ قَدْرَكَ
“Apakah yang aku sembunyikan darimu?” Jawab Ibnu Shayyad: “Asap.”
Kata Nabi n: “Diamlah. Maka, sekali-kali kamu tidak akan melampaui (apa
yang telah Allah l) takdirkan padamu.”
Maka, Nabi n menyembunyikan sesuatu dari Ibnu Shayyad dalam rangka mengujinya. (HR. Al-Bukhari no. 3055)
4. Bertanya dalam rangka
menampakkan kelemahan dan kedustaan dukun. Ini diuji dengan
perkara-perkara yang akan memperjelas bahwa dia adalah lemah dan dusta.
Yang demikian ini dituntut. Bahkan terkadang bisa menjadi wajib
hukumnya. Sebab, menunjukkan kebatilan perkataan dukun, tidak diragukan
lagi sebagai perkara yang dituntut adanya, bahkan bisa menjadi sesuatu
yang wajib. (Al-Qaulul Mufid ‘ala Kitabit Tauhid, hal. 341)
Bagaimana hukum membantu dukun yang menggunakan sihir? Asy-Syaikh
Muhammad Al-Imam hafizhahullah menyatakan bahwa termasuk sebesar-besar
dosa yang paling besar adalah melakukan tolong-menolong dengan tukang
sihir. Allah l berfirman:
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa,
dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan.”
(Al-Ma’idah: 2)
Firman-Nya:
“Dan janganlah kamu berdebat (untuk membela) orang-orang yang
mengkhianati dirinya. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
selalu berkhianat lagi bergelimang dosa, mereka bersembunyi dari
manusia, tetapi mereka tidak bersembunyi dari Allah, padahal Allah
beserta mereka, ketika pada suatu malam mereka menetapkan keputusan
rahasia yang Allah tidak ridhai. Dan adalah Allah Maha meliputi
(ilmu-Nya) terhadap apa yang mereka kerjakan. Beginilah kamu, kamu
sekalian adalah orang-orang yang berdebat untuk (membela) mereka dalam
kehidupan dunia ini. Maka siapakah yang akan mendebat Allah untuk
(membela) mereka pada hari kiamat? Atau siapakah yang jadi pelindung
mereka (terhadap siksa Allah)?” (An-Nisa’: 107-109)
Rasulullah n bersabda:
لَعَنَ اللهُ مَنْ لَعَنَ وَالِدَيْهِ، وَلَعَنَ اللهُ مَنْ آوَى مُحْدِثًا
“Allah melaknat orang yang melaknat kedua orangtuanya, dan Allah
melaknat terhadap orang yang melindungi orang yang jahat (kriminal).”
(HR. Muslim no. 1978, dari Ali bin Abi Thalib z)
Kata Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam hafizhahullah, termasuk memberi
perlindungan kepada pelaku bid’ah atau kriminal, yaitu membiarkan ia
tinggal bersama keluarganya, atau tinggal di kampungnya, di kotanya,
atau di perkampungan muslim. Termasuk pula memberi perlindungan kepada
pelaku sihir adalah dengan mereka dipungut uang lalu dilepaskan bebas.
Sehingga dia bisa melangsungkan tindak kriminal. Tidak ada upaya untuk
menjebloskannya ke penjara hingga nampak sikap penyesalan dan taubat
pada diri dukun atau tukang sihir ini. Tentunya, dengan taubat yang
sebenarnya. Akan tetapi, kenyataan yang ada justru dia diberi tempat
untuk menyembunyikan dirinya.
Karenanya, Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam menasihatkan, hendaknya wajib
atas negara muslim untuk menegakkan hukum kepada para tukang sihir
(termasuk dukun, tukang ramal, dan lainnya, pen.) jika mereka belum
menampakkan taubat yang sebenar-benarnya. Jika tukang sihir tersebut
telah kafir maka dia dibunuh karena telah murtad dari Islam. Jika dia
belum kafir, hanya melakukan salah satu dosa terbesar dari dosa-dosa
yang paling besar, maka dihukum ta’zir (hukuman yang bukan had, tidak
ditentukan kadarnya oleh syariat). Lain halnya bila dia ternyata telah
membunuh seseorang dengan sihirnya, maka dia dihukum mati. Hendaknya
pula masyarakat bahu-membahu, saling menolong dengan pihak pemerintah
dalam hal tersebut. Menegakkan hukum terhadap pelaku sihir termasuk
sebesar-besar upaya untuk melindungi masyarakat muslimin dari hal-hal
yang menyebabkan kekufuran dan kesyirikan. (Irsyadun Nazhir ila
Ma’rifati ‘Alamat As-Sahir, hal. 83 dan 94)
Adapun kepada tukang sihir, dukun, tukang nujum, dan lainnya,
hendaklah bertaubat kepada Allah l dengan sebenar-benarnya, dengan
menunaikan perintah Allah l Yang Maha Esa dan Maha Kuasa. Allah l
berfirman:
“Katakanlah: ‘Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri
mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah.
Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah
Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan kembalilah kamu kepada
Rabbmu, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang azab kepadamu
kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi). Dan ikutilah sebaik-baik apa
yang telah diturunkan kepadamu dari Rabbmu sebelum datang azab kepadamu
dengan tiba-tiba, sedang kamu tidak menyadarinya’.” (Az-Zumar: 53-55)
Maka, bagi orang yang memerhatikan ayat-ayat Al-Qur’an, dia akan
melihat bahwa Allah l telah menjanjikan maghfirah (ampunan) dan rahmah
bagi hamba-hamba-Nya. (Irsyadun Nazhir, hal. 103)
Wallahu a’lam. |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar